Presiden Trump saat menandatangi perintah eksekutif yang melarang warga dari tujuh negara Muslim masuk ke AS. Perintah eksekutif terbaru Trump bertujuan untuk melindungi perekonomian AS dari politik dumping negara lain.
Perintah eksekutif Trump akan menelisik negara-negara yang menyebabkan defisit perdagangan AS, salah satunya Indonesia. Perlukah pemerintah RI khawatir?
Perintah eksekutif Presiden Donald Trump berisi dua bagian. Pertama, Trump memerintahkan agar dalam 90 hari Kementerian Perdagangan AS menyusun laporan faktor penyebab defisit perdagangan negara tersebut.
Kedua, peningkatan pendapatan cukai impor atas barang masuk ke AS
Perintah eksekutif ini bertujuan untuk melindungi perekonomian AS dari politik dumping (harga barang ekspor lebih murah dibanding harga barang di negara produsen) yang dilakukan negara partner dagang atau currency manipulation (manipulasi kurs) agar harga barang dari negara partner menjadi lebih murah.
Dampak terhadap Indonesia
Lantas, apa dampaknya terhadap Indonesia?
Sangat sedikit, menurut Peneliti INDEF (Institute Development of Economics and Finance) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurutnya, impor Indonesia sebagian besar dalam bentuk bahan baku mentah ataupun produk manufaktur seperti tekstil atau alas kaki yang tidak akan efisien jika diproduksi di AS karena upah buruh AS yang tinggi.
“Ini comparative advantage (keunggulan komparatif) karena biaya tenaga kerja AS memang terlalu tinggi untuk memproduksi tekstil dan garmen,” terang Bhima..
“Kalau Amerika memaksakan menuduh kita (Indonesia) dumping, industri mereka yang akan kewalahan.”
Menyasar Cina
Selain itu,menurut Bhima, sasaran perintah eksekutif tersebut adalah Cina, seperti yang juga diberitakan oleh media-media AS.
“Cina itu memang sering kali dituduh melakukan dumping atau manipulasi perdagangan ke Amerika karena dasarnya Cina banyak mengirim produk-produk dengan nilai tambah seperti elektronik dan sebagainya. Kemudian banyak dari Cina ke AS itu memang banyak mematikan usaha-usaha yang ada di AS,” jelas Bhima.
“Indonesia juga bukan currency manipulator. Indonesia juga tidak mempermainkan rupiah kan dengan intervensi. Pemerintah bebaskan rupiah di pasar.”
Prseiden Trump juga pada minggu lalu sempat mengetwit: ” Pertemuan dengan Cina minggu depan akan menjadi sangat sulit karena kita sudah tidak bisa lagi memiliki defisit perdagangan yang sangat besar dan hilangnya pekerjaan.”
Namun Direktur Dewan Perdagangan Nasional Gedung Putih, Peter Navarro, seperti diberitakan di media-media AS, menekankan bahwa perintah tersebut tidak ada hubungannya dengan kedatangan Presiden Xi Jinping pekan ini.
Antisipasi pemerintah RI
Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Oke Nurwan, mengaku pihaknya masih memantau keputusan yang akan diambil oleh AS, dan akan melakukan negosiasi jika dilakukan pemberlakuan cukai atas barang ekspor Indonesia.
“Langkah-langkahnya macam-macam. Bisa pendekatan persuasif, antisipatif maupun ofensif,” papar Oke.
Oke menjelaskan bahwa pendekatan persuasif berupa negosiasi bilateral atau multilateral. Pendekatan preventif dengan membina perusahaan penyuplai komoditi agar meningkatkan standar kualitas. Sedang pendekatan ofensif lewat gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mitra dagang ke-4 terbesar
Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar ke empat bagi Indonesia, setelah Jepang, Cina dan Singapura.
Sepanjang tahun 2016, AS mengekspor ke Indonesia sebesar US$7,3 miliar sedang besar impor AS dari Indonesia mencapai US$16,1 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan AS sebesar US$8,8 miliar.
Defisit neraca perdagangan terjadi saat besar impor melebihi jumlah ekspor suatu negara.
Hal ini menyebabkan Indonesia menempati negara ke-15 yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS.
Posisi pertama ditempati oleh Cina dengan US$347 miliar, disusul dengan Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia , Korea Selatan, Malaysia, India, Thailnad, Prancis, Switzerland dan Taiwan.
Petisi biodiesel
Menurut Bhima, yang perlu dikhawatirkan justru petisi yang dikeluarkan Badan Nasional Biodisel AS (National Biodiesel Board/ NBB) terhadap produk biodiesel (bahan bakar nonminyak bumi, biasanya terbuat dari CPO atau minyak sawit mentah) Indonesia.
Petisi tersebut menyatakan bahwa Indonesia dan Argentina telah melakukan politik dumping dan subsidi atas produk biodiesel sehingga harga produk dari kedua negara jauh di bawah biaya produksi.
Seperti tertulis dalam pernyataan pers NBB pada (23/3) lalu: “Hal ini tercermin dalam dugaan margin dumping dalam petisi ini yaitu sebesar 23,3% untuk Argentina dan 34% untuk Indonesia.”
Oke memaparkan bahwa menurut peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), petisi yang diajukan produsen biofuel ke pemerintah AS tersebut harus melewati tahapan penyelidikan sebelum diberlakukan cukai anti dumping.
“Nanti pemerintahnya yang akan melakukan investigasi ke Indonesia. Prosesnya kurang lebih satu tahun sampai 18 bulan. Pemerintah akan lakukan pembelaan”, kata Oke.
“Cukai antidumping untuk produk-produk CPO Indonesia sudah diberlakukan di Uni Eropa. Dan itu kita anggap tidak benar, kita gugat ke WTO. Kalau AS begitu juga, kita gugat juga.”
Bhima juga menjelaskan bahwa cukai antidumping yang ingin diberlakukan lewat petisi tersebut dapat membuat harga produk biodiesel Indonesia menjadi kurang kompetitif.
“Dengan cukai antidumping, produk seperti sunflower oil atau biofuel alternatif yang bisa diproduksi AS harganya bisa kompetitif dengan biofuel yang diproduksi Indonesia dan Argentina”, jelas Bhima.
“Mereka berulang kali menuduh tapi motif utamanya sebenarnya persaingan usaha.”
Menariknya, dari semua produsen biodiesel terbesar di dunia, hanya Indonesia dan Argentina yang diberikan petisi ini.
“Indonesia dan Malaysia 90% eksportir dunia untuk CPO termasuk biofuel. Kenapa Malaysia tidak? Memang ditemukan Indonesia dan Argentina sangat murah. Kenapa? Karena harga produksinya dengan biaya tenaga kerja yang relatif lebih murah dibanding Malaysia,” terang Bhima.
sumber: bbc.com